BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hukum
perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang
lingkup bidang hukum ini cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya
lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana,
yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi hingga hubungan atau
transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang
internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya
teknologi informasi ) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung
cepat. Batas-batas Negara bukan lagi menjadi halangan dalam bertransaksi. Ada beberapa motif atau
alasan mengapa Negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan
transaksi dagang internasional. Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang
internasional juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah
air sejak abad ke 17. Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang
sadar akan pentingnya dagang ( pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya.
Keunggulan suku Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu
Bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya ( sekarang
menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).
Esensi
untuk bertransaksi dagang ini merupakan dasar filosofis dari munculnya
perdagangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa berdagang ini
merupakan suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).
Dengan
kebebasan ini, siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan
ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan,
politik, sistem hukum dan lain-lain. Piagam hak-hak dan kewajiban Negara (charter
of economic right and duties of state) juga mengakui bahwa setiap Negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dijadikan objek
penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
- Apakah
teori perdagangan internasional yang sesuai dengan Indonesia?
- Bagaimana
gambaran peraturan/regulasi perdagangan internasional?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
- Untuk
mengetahui teori perdagangan internasional yang sesuai dengan Indonesia.
- Untuk
mengetahui gambaran peraturan/regulasi perdagangan internasional.
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat
yang diharapkan dari hasil penulisan ini, antara lain adalah sebagai berikut :
- Secara
teoritis bahan informasi bagi para akademisi dan berguna sebagai bahan
bagi penulisan selanjutnya serta sebagai bahan untuk menambah khazanah
ilmu pengetahuan.
- Secara
yuridis, bahan masukan bagi pemerintah, praktisi hukum dan lembaga yang
berminat terhadap masalah hukum dagang internasional.
1.6 Kerangka
Pemikiran
Perdagangan internasional adalah
perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara
lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa
antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan
pemerintah
suatu negara atau pemerintah suatu
negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara,
perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan
GDP. Meskipun perdagangan internasional telah
terjadi selama ribuan tahun (lihat
Jalur Sutra,
Amber Road), dampaknya
terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad
belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong
Industrialisasi, kemajuan
transportasi,
globalisasi,
dan kehadiran
perusahaan multinasional.
Menurut
Amir M.S.,
bila dibandingkan dengan pelaksanaan
perdagangan
di dalam negeri, perdagangan
internasional
sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena
adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan,
misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain
itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya,
bahasa,
mata uang,
taksiran dan timbangan, dan
hukum dalam perdagangan.
Umumnya
perdagangan diregulasikan melalui perjanjian
bilatera antara dua
negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam
Merkantilisme
kebanyakan negara memiliki
tarif tinggi dan banyak
pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di
Britania,
ada kepercayaan akan
perdagangan bebas.
1.7 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengn sistematika sebagai berikut
:
BAB I PENDAHULUAN, dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian tulisan, kerangka
pemikiran dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN Hukum Dagang Internasional yang menyangkut Teori
Perdagangan Internasional yang Sesuai Dengan Indonesia dan Gambaran
Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional.
BAB IV PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hukum Dagang Internasional
Pengertian
hukum dagang internasional berbeda-beda menurut para ahli, akan
tetapi dari pengertian-pengertian tersebut hampir sama maknanya. Berikut
diberikan definisi hukum dagang internasional dari para sarjana :
a. Schmitthoff
“Hukum dagang internasional adalah sekumpulan aturan
yang mengatur
hubungan-hubungan
komersial yang sifatnya hukum perdata
dan
mengatur transaksi-transaksi yang berbeda Negara”.
[1]
b. M. Rafiqul Islam
“Hukum
dagang internasional adalah suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktik
yang menciptakan suatu pengaturan (
regulatory regime) untuk
transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang
memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan”
[2]
c. Hercules
Booysen
“Hukum
dagang internasional adalah suatu cabang khusus dari hukum internasional (
international
trade law may also be regarded as a specialized branch of international
law), aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan
barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) (
International
trade law can be described as those rules of international law which are
applicable to trade in goods, services and the protection of
intellectual property), dan aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau
pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum”.
[3]
Berdasarkan
pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum dagang interasional adalah
sekumpulan aturan hukum yang mengatur perdagangan antar negara yang bersifat
komersial dan bagian dari hukum perdata serta hukum internasional yang
mempunyai pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum.
BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM DAGANG INTERNASIONAL
3.1 Teori
Perdagangan Internasional yang Sesuai Dengan Indonesia
Pada
dasarnya teori perdagangan internasional adalah saling terkait satu sama. Tidak
dapat dipungkiri bahwa teori-teori ini sangat mempengaruhi perdagangan
internasional terutama
Indonesia
dalam melakukan perdagangan Internasional. Berikut merupakan teori-teori
perdagangan internasional, yaitu :
[4]
- Model Ricardian
- Model Heckscher-Ohlin
- Faktor
Spesifik
- Model Ricardian
Model Ricardian
memfokuskan pada kelebihan komparatif dan
mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional.
Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang
mereka paling baik produksi.
Tidak
seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara
akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang
komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor
pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
- Model
Heckscher-Ohlin
Model
Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian
dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih
rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun,
dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang
elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan
internasional.
Teori
ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh
perbedaan dalam
faktor
pendukung. Model ini
memperkirakan kalau negara-negara akan meng
ekspor barang yang membuat
penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang
akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris
dengan model H-o, dikenal sebagai
Pradoks Leotief, yang
dibuka dalam uji empiris oleh
Wassily
Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk
mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
- Faktor Spesifik
Dalam
model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin
ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor
spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari
produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri.
Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik
dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada
term
sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan
(seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika
melobi untuk pengedalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua
pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah
peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu.
Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk
menentukan pola pedagangan.
- Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang
lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas.
Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak
antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini
meniru
hukum gravitasi Newton yang juga
memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah
terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa
ekonometri.
Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan
perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
Berdasarkan
teori perdagangn internasional diatas menurut penulis Indonesia
cengerung menganut teori yang pertama, yaitu model ricardian. Dimana, Indonesia
sebagai negara yang berkembang cenderung lebih memfokuskas komparatif pada
memproduksi barang atau jasa yang paling baik diproduksi. Hal demikian terjadi
karena sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.
3.2 Gambaran
Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional
Umumnya
perdagangan diregulasikan melalui perjanjian
bilateral antara dua
negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam
Merkantilisme
kebanyakan negara memiliki
tarif tinggi dan banyak
pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di
Britania,
ada kepercayaan akan
perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan
pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk beberapa waktu
sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada
tahun-tahun sejak
Perang Dunia II, perjanjian
multilateral
kontroversial seperti
GATT
dab
WTO
memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional.
Kesepakatan perdagangan tersebut terkadang berujung pada protes dan
ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak
menguntungkan secara mutual.
Perdagangan
bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi
kuat, walaupun mereka terkadang melakukan proteksi selektif untuk
industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi
tarif untuk
agrikultur
oleh
Amerika Serikat dan
Eropa.
Belanda
dan
Inggris Raya
keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis
dominan, sekarang
Amerika Serikat,
Inggris,
Australia
dan
Jepang
merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti
India, Rusia,
dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat
secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk
menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung,
pembelian, dan
fasilitasi perdagangan.
Wujud lain dari
biaya transaksi
dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur
cukai.
Umumnya
kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor
manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu
pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam
agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama
reses ada seringkali
tekanan domestik untuk meningkatkan arif dalam rangka memproteksi industri
dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama
Depresi Besar
membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi
tersebut.
Regulasi
dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization
pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti
MERCOSUR di Amerika
Selatan,
NAFTA antara Amerika
Serikat,
Kanada
dan
Meksiko,
dan
Uni Eropa
anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan
pembuatan dari
Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena
penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti
MAI (
Multilateral
Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan
ini.
Pertengahan
Juni, (15-18) bertempat di
Sao Paulo,
Brazil,
diselenggarakan pertemuan negara-negara berkembang yang difasilitasi UNCTAD
(United Nations Conference on Trade and Development). Pertemuan yang sangat
penting itu, membahas soal manfaat perdagangan global bagi perekonomian negara
berkembang. Isu ini kembali dibahas, mengingat dalam 50 tahun terakhir,
perekonomian nasional masing-masing negara berkembang semakin terintegrasi
dengan struktur ekonomi global.
[5]
Sayangnya,
konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara yang tergabung dalam G-77
plus Cina itu, tenggelam di balik hiruk-pikuk kampanye pemilu presiden. Baik
para kandidat, juru kampanyenya, maupun para pengamat yang kritis sekalipun,
mengabaikan masalah mendasar ini. Padahal, siapa pun presiden yang terpilih
nanti, mau tidak mau harus bermain dalam struktur perdagangan global yang
sangat kompleks dan kontroversial itu. Tulisan ini hendak membuka kembali
perdebatan tentang ”apakah pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi
global adalah sesuatu yang tak terelakkan?”
Para pendukung liberalisasi pasar menaruh keyakinan
sangat kuat, bahwa pengintegrasian ekonomi negara berkembang ke dalam ekonomi
global mendatangkan hasil akhir yang positif. Ini didasarkan pada tiga hal:
pertama, perdagangan akan menciptakan allocative efficiency. Liberalisasi
perdagangan akan menyebabkan setiap negara melakukan spesialisasi dalam
produksi setiap item di mana mereka secara relatif lebih efisien. Inilah yang
oleh David Ricardo, salah satu peletak dasar teori ekonomi klasik, disebut
sebagai teori comparative advantage. Sebaliknya, pada sisi lain dari mata uang
yang sama, pembatasan perdagangan atau distorsi cenderung menurunkan allocative
efficiency.
Yang
kedua, perdagangan akan menghasilkan efficiency from competition. Maksudnya,
dengan terlibat dalam aktivitas perdagangan global pemerintah negara nasional
harus mendorong perusahaan-perusahaan domestik untuk bertarung di pasar global,
dan kemudian memaksa mereka lebih inovatif. Dengan demikian, pada akhirnya
perusahaan-perusahaan domestik tersebut menjadi lebih efisien. Hasil akhirnya,
kompetisi akan melahirkan harga yang lebih murah dan pelayanan terhadap
konsumen yang lebih baik. Ketiga, perdagangan juga melahirkan apa yang disebut
imported efficiency.
Keyakinan
teoretik ini bukan tanpa hasil. Sebuah laporan yang dilansir oleh United
Nations Development Program (UNDP) 1997 mengenai Human Development Report,
menyebutkan sejak 1960 ekspor global telah bertumbuh dari $60 miliar menjadi
$6,5 triliun (setelah dikurangi inflasi),atau bertumbuh sebesar empat kali
lipat. Tetapi, ketika angka-angka yang membelalakkan itu dipublikasi, pada saat
yang sama muncul pertanyaan ”siapa yang diuntungkan darinya?”
Studi
yang dilakukan Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam bukunya Globalisasi Adalah
Mitos (2001), mengatakan ”Sebanyak 75 persen dari akumulasi saham total dan 60
persen arus investasi asing langsung (FDI) hanya disalurkan oleh tiga pemain
pada permulaan tahun 1990-an yakni, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Padahal
jumlah penduduknya hanya meliputi 14 persen penduduk dunia. Tak hanya itu. Arus
investasi yang terbang ke sepuluh negara berkembang pada tahun 1980-1991, hanya
sebesar 16,5 persen atau 66 persen dari total arus ke negara berkembang. Dengan
demikian, antara 57 persen hingga 72 persen dari penduduk dunia hanya menerima
8,5 persen dari FDI secara global. Dengan kata lain, 2/3 penduduk dunia tidak
merasakan manfaat dari investasi ini.”
Laporan
UNDP tahun 1999, menguatkan temuan Hirst dan Thompson: ”Dalam waktu sepuluh
tahun terjadi pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Tiga orang terkaya
di dunia saat ini menguasai asset yang nilainya sama dengan milik 600 juta
orang di 48 negara termiskin. Kemakmuran mengalir dari tempat-tempat termiskin
dan terburuk yang tak mungkin dapat dibayangkan manusia ke pusat perdagangan
global dan keuangan negara industri. Saat ini seperlima penduduk di
negeri-negeri paling kaya menguasai 86 persen produk domestik bruto dunia, 82
persen pasar ekspor dunia, 68 persen penanaman modal langsung, dan 74 persen
saluran telepon di dunia. Sementara penduduk di negeri-negeri termiskin hanya
memiliki satu persen di masing-masing sektor.”
[6]
Di
Indonesia itu gambaran di tingkatan global. Indonesia, salah satu negara yang
dengan sukarela mengikatkan dirinya pada perdagangan internasional, merasakan
betul akibatnya. Keterbukaan pasar, upah buruh murah, dan penundukan kesadaran
politik rakyat guna melancarkan arus investasi, memang menghasilkan angka pertumbuhan
yang tinggi, rata-rata 6-7 persen per tahun. Tetapi, pengintegrasian itu
nyatanya tidak mendatangkan, baik allocative effieciency, efficiency from
competition, maupun imported efficiency.
Satu
per satu, dunia usaha yang bertumbuh pesat pasca deregulasi 1983, tumbang
dihantam oleh krisis ekonomi pada 1997. Pertumbuhan tinggi tersebut juga hanya
dinikmati oleh sekitar 200 pembayar pajak terbesar di
Indonesia, yang
komposisinya tidak mengalami perubahan yang berarti. Sementara itu, mayoritas
rakyat terdesak ke kantong-kantong kemiskinan yang parah.Intervensi negara
terhadap aktivitas ekonomi masih sering terjadi, sehingga menyebabkan distorsi
(penyimpangan) pasar. Dengan kata lain, perdagangan bebas belum dilaksanakan
secara sungguh-sungguh, pengintegrasian masih bersifat sepihak berdasarkan
kepentingan masing-masing negara.
[7]
Argumen
ini menurut saya mengandung kelemahan yang serius. Pertama, perdagangan bebas
tidak pernah terjadi secara sukarela. Sejarah perkembangan ekonomi menunjukkan,
perdagangan pertama-tama disebabkan oleh penaklukan; kedua, mengutip studi
Patrick Bond (2004) tentang kasus Afrika, ”Integrasi dalam keadaan di mana
struktur perdagangan global demikian timpang, malah makin memiskinkan
negara-negara berkembang.” Dalam bahasa Graham Dunkley (2000), manfaat
perdagangan hanya bisa dirasakan bersama jika masing-masing pemain bermain
dalam lapangan permainan yang datar. Artinya, ada pemberlakuan yang sama
terhadap produk domestik dan asing. Ketiga, yang lebih mendasar lagi, fair
trade atau lapangan permainan yang datar tak mungkin terjadi dalam sistem
kapitalisme yang bercirikan ekspansi dan monopoli kapital sekaligus.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penulisan yang penulis lakukan maka pada bagian ini penulis akan mencoba
menarik kesimpulan atas semua tulisan sebelumnya, sebagai berikut :
- Bahwa
dalam perdagangan internasional, Indonesia
menganut teori Ricardian ini didasari karena terbatasnya sumber daya
manusia dan teknologi Indonesia.
- Bahwa
peraturan atau regulasi perdagangan internasional adalah sangat kompleks,
hal ini dapat dilihat dari regulasi/peraturan perdagangan Internasional
yang telah dimulai sejak abad ke 19 sampai sekarang.
4.2 Saran
Untuk
mengakhiri tulisan ini maka pada bagian ini penulis akan mencoba mengemukakan
beberapa saran.
Adapun
saran-saran yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut :
- Bahwa
agar lebih memajukan perdagangan internasional, Indonesia
maka haruslah ditingkatkan sumber daya manusia dan teknologinya sehingga Indonesia
tidak hanya terpaku pada 1 teori perdagangan internasional saja.
- Bahwa
tiap negara harus memperhatikan dengan cermat bentuk regulasi/peraturan
perdagangan internasional yang sangat kompleks agar tidak terjadi
kesalahan dalam melakukan perdangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S., 2000
Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta.
Soedjono
Dirdjosisworo,2006, Pengantar Hukum Dagang Internasiona, Refika Aditama, Bandung.
Sudargo Gautama, 1977, Kontrak Dagang
Internasional, Alumni, Bandung.
Sinar Harapan, Selasa 29 Juni 2004
[1] Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Pengantar Hukum Dagang Internasiona, Refika Aditama, Bandung, hal 4.
[2] Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1977, hal 5.
[4] Amir
M.S., Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta,2000, hal 20.