Sabtu, 24 September 2011

Hukum dan Kekuasaan

Sebuah adegium menyatakan ubi societas ibi ius, artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. adegium tersebut mengandung makna bahwa masyarakat dan hukum memiliki hubungan yang erat sehingga apabila salah satunya tidak ada maka yang terjadi adalah chaos atau kekacauan. Misalnya, masyarakat sangat membutuhkan hukum karena hukum dapat memenuhi hasrat masyarakat akan pedoman hidup yang tegas. Jika hukum tidak ada maka yang terjadi adalah sesema manusia dalam masyarakat akan saling menindas (homo homoni lupus). Sebaliknya hukum sangat membutuhkan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang serta sebagai tempat pengaplikasiannya apabila masyarakat sudah tidak ada lagi, hukum yang telah dikodifikasi hanya akan menjadi lembaran-lembaran kertas yang berisi peraturan saja.
Untuk menjaga hal tersebut tidak terjadi maka diperlukan kekuasaan untuk menerapkan hukum secara benar. Kekuasaan cenderung bersumber dari wewenang formal (formal authority) memiliki kemampuan untuk memaksakan hukum dalam bentuk tertulis kepada masyarakat[1].
Kekuasaan dan hukum berkaitan dengan pemikiran tentang “Negara Hukum”, hal ini dapat diketahui melalui tulisan-tulisan para ahli hukum, seperti John Locke dalam bukunya Two Treaties On Government, Charles De Secondat Montesqui eu dalam bukunya I’ Esprit des Lois dan Immanuel Kant yang mana menurut Indroharto ringkasan pemikiran mereka mengandung unsur-unsur yang bersifat universal sebagai berikut [2]:
a. Dalam negara hukum, pemerintahan dilakukan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) dimana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh undang-undang.
b. Dalam negara hukum, hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh undang-undang.
c. Kekuasaan dalam pemerintahan dalam negara tidak dipusatkan dalam satu tangan tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan dimana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara-lembaga-lembaga kenegaraan tersebut.
d. Perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak dan diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya Lord Acton mengemukakan tentang hubungan hukum dengan kekuasaan dengan suatu adegium : “Power tends to corrupt and absolut power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung bersalah guna dan kekuasaan yang absolut akan disalalahgunakan). Kemudian Karl max menyatakan kekuasaan merupakan alat penindas[3]. Agar pemegang kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang maka kekuasaan harus dibatasi oleh hukum.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa hukum dan kekuasaan memiliki hubungan timbal alik, yaitu hukum dalam pengaplikasiannya membutuhkan kekuasaan sebagai sarana dan prasarana agar ia dapat diberlakukan dalam masyarakat dan kekuasaan membutuhkan hukum guna membatasi langkah-langkahnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah selaku pemegang kekuasaan.


Catatan :
Indonesia sendiri secara tegas menyatakan bahwa ia merupakan negara hukum pada tahun 2001 yakni terjadi pada Amandemen III Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 berbunyi : Negara Indonesia adalah negara hukum.

Daftar Bacaan
Indroharto, 1994, Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung.
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan.


[1] Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, hal. 5
[2] Indroharto, 1994, Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 82
[3] Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, hal. 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar