Sebuah adegium
menyatakan ubi societas ibi ius,
artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. adegium tersebut mengandung
makna bahwa masyarakat dan hukum memiliki hubungan yang erat sehingga apabila
salah satunya tidak ada maka yang terjadi adalah chaos atau kekacauan.
Misalnya, masyarakat sangat membutuhkan hukum karena hukum dapat memenuhi
hasrat masyarakat akan pedoman hidup yang tegas. Jika hukum tidak ada maka yang
terjadi adalah sesema manusia dalam masyarakat akan saling menindas (homo homoni lupus). Sebaliknya hukum
sangat membutuhkan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang serta sebagai tempat
pengaplikasiannya apabila masyarakat sudah tidak ada lagi, hukum yang telah dikodifikasi
hanya akan menjadi lembaran-lembaran kertas yang berisi peraturan saja.
Untuk menjaga
hal tersebut tidak terjadi maka diperlukan kekuasaan untuk menerapkan hukum
secara benar. Kekuasaan cenderung bersumber dari wewenang formal (formal authority) memiliki kemampuan
untuk memaksakan hukum dalam bentuk tertulis kepada masyarakat[1].
Kekuasaan dan
hukum berkaitan dengan pemikiran tentang “Negara
Hukum”, hal ini dapat diketahui melalui tulisan-tulisan para ahli hukum,
seperti John Locke dalam bukunya Two
Treaties On Government, Charles De Secondat Montesqui eu dalam bukunya I’ Esprit des Lois dan Immanuel Kant
yang mana menurut Indroharto ringkasan pemikiran mereka mengandung unsur-unsur
yang bersifat universal sebagai berikut [2]:
a. Dalam negara hukum, pemerintahan dilakukan berdasarkan
undang-undang (asas legalitas) dimana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki
pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh undang-undang.
b. Dalam negara hukum, hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh
undang-undang.
c. Kekuasaan dalam pemerintahan dalam negara tidak dipusatkan dalam
satu tangan tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan dimana yang
satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu
keseimbangan kekuasaan antara-lembaga-lembaga kenegaraan tersebut.
d. Perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan
pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak
memihak dan diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut
bersifat melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya
Lord Acton mengemukakan tentang hubungan hukum dengan kekuasaan dengan suatu
adegium : “Power tends to corrupt and
absolut power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung bersalah guna dan
kekuasaan yang absolut akan disalalahgunakan). Kemudian Karl max menyatakan
kekuasaan merupakan alat penindas[3].
Agar pemegang kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang maka kekuasaan harus
dibatasi oleh hukum.
Dengan demikian dapat dilihat
bahwa hukum dan kekuasaan memiliki hubungan timbal alik, yaitu hukum dalam
pengaplikasiannya membutuhkan kekuasaan sebagai sarana dan prasarana agar ia
dapat diberlakukan dalam masyarakat dan kekuasaan membutuhkan hukum guna
membatasi langkah-langkahnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh
pemerintah selaku pemegang kekuasaan.
Catatan :
Indonesia sendiri
secara tegas menyatakan bahwa ia merupakan negara hukum pada tahun 2001 yakni
terjadi pada Amandemen III Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 berbunyi : Negara Indonesia adalah negara
hukum.
Daftar Bacaan
Indroharto, 1994, Memahami
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta .
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung .
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan .
[1]
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung , hal. 5
[2] Indroharto,
1994, Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta ,
hal 82
[3]
Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara,
Gelora Madani Press, Medan ,
hal. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar