A. Pendahuluan
Tanggung
jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup. Hal demikian dapat
dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan merawat dan
mendidik anaknya sampai dewasa begitu juga pada hewan, ia juga merawat anaknya
sampai dewasa. Tanggung jawab tidak hanya ada pada makhluk hidup namun terdapat
juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan,
ilmuwan dan sebagainya.
Mengenai
tanggung jawab ini tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab itu
sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan
tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik
anak, memberi nafkah dan sebagainya.
Dalam hal
ini, penulis akan membahas mengenai tanggung jawab sosial ilmuwan hukum yang
mana cakupan dari pembahasannya menurut saya sangat luas. Tidak hanya pada
tugasnya mengkaji ilmu pengetahuan hukum atau menemukan suatu disiplin ilmu
pengetahuan hukum baru akan tetapi ilmuwan hukum juga memiliki sebuah tanggung
jawab yang sangat besar yang melekat pada dirinya.
Tanggung jawab
itu adalah bagaimana gamabaran tanggung jawab sosial ilmuwan, apakah hanya
sebagai pengembang, pengkaji, atau penemu ilmu pengetahuan hukum baru yang
bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia
atau menemukan sebuah titik terang bagi permasalahan sosial yang ada pada
masyarakat, misalnya kenakalan remaja, kejahatan, perubahan sosial,
stratifikasi sosial dan sebagainya.
B. Pembahasan
Tanggung
jawab sosial ilmuwan hukum adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan hukum untuk
mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Berikut
ini pembahasan tanggung jawab sosial ilmuwan akan dibagi menjadi 2 pokok
pembahasan, yaitu :
1. Metode yang digunakan oleh ilmuwan hukum
untuk mengkaji, menemukan atau mengembangkan ilmu pengetahuan hukum,
2. Gambaran tanggung jawab sosial ilmuwan.
1. Metode yang Digunakan oleh Ilmuwan Hukum untuk
Mengkaji, Menemukan atau Mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum
Dalam dunia
keilmuan terdapat sebuah segi lain yang sangat melekat, yaitu “metode” yang dianggap senantiasa
melekat pada segi “sistem”.
Metode yang
dimaksud disini adalah cara kerja untuk dapat memahami atau mengkaji objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian, perlu diingat bahwa
objeklah yang menentukan metodologi dan bukan sebaliknya metodologi menentukan
objek mana yang menjadi sasaran suatu kegiatan atau usaha ilmiah.
Metode
ilmiah adalah prosedur untuk memeperoleh pengetahuan yang disebut ilmu. Sebagai
suatu prosedur atau cara untuk mengetahui, menguji, menemukan, atau
mengembangkan ilmu pengetahuan, metode mempunyai langkah-langkah yang
sistematis, yaitu :[1]
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai
objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi
faktor-faktor yang terkait di dalamnya,
b. Perumusan kerangka berfikir dalam pengajuan
hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan,
c. Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan jawaban pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang
dikembangkan,
d. Pengujian hipotesis yang merupakan
pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan, apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak,
e. Penarikan
kesimpulan ang merupakan penilaian, apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima, sekiranya dalam proses pengkajian terdapat fakta yang
cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, kalau
dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka
hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelum serta
telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus dapat ditafsirkan
secara pragmatis, artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang
menyatakan sebaliknya.
Secara teoritis konseptual langkah-langkah sistematis
ini harus diterapkan berurutan dan teratur supaya sesuatu penelaahan dapat
disebut ilimah, dengan pengertian bahwa langkah yang satu menjadi landasan atau
dasar bagi langkah berikutnya.[2] Namun demikian dalam praktek sering
terjadi lompatan-lompatan atau langkah-melangkahi. Bahkan hubungan antara
langkah yang satu dengan yang lain tidak terikat secara statis melainkan
bersifat dinamis, dengan proses pengkajian ilmiah yang semata-mata mengandalkan
penalaran melainkan juga imajinasi dan kreatifitas.
Sering
terjadi bahwa langkah yang satu bukan saja menjadi landasan bagi langkah yang
berikutnya, namun sekaligus sebagai landasan koreksi bagi langkah yang lain.
Melalui jalan ini diharapkan terprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten
dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara
empiris.
Demikianlah
langkah-langkah sistematis dalam kerangka untuk mengetahui, menguji, menemukan,
atau mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai patokan-patokan dasar yang dalam
prakteknya dapat saja berkembang berbagai variasi sesuai dengan bidang dan
permasalahan yang sedang diteliti.
2. Gambaran Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Hukum
Tanggung jawab sosial ilmuwan hukum adalah suatu
kewajiban seorang ilmuwan hukum untuk mengetahui masalah sosial dan cara
penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
Untuk memperjelas mengenai tanggung jawab sosial ilmuwan
hukum berikut ini akan diuraikan permasalahan sosial yang sering terjadi
dimasyarakat, yaitu :
a. Aksi protes dan Demonstrasi[3]
Aksi protes merupakan gerakan yang dapat dilakukan
secara perorangan ataupun secara bersama-sama untuk menyampaikan rasa tidak puas
terhadap tindakan atau kebijakan seseorang atau lembaga tertentu. Demonstrasi
adalah tindakan yang dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama untuk
menyampaikan rasa tidak puas. Contoh aksi protes dan demonstrasi yang pernah
terjadi diIndonesia adalah sebagai berikut :
- Aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan
buruh terhadap Surat Keputusan Bersama 4 Menteri,
- Aksi
protes dan demonstrasi yang dilakukan umat islam terhadap aliran
ahmadiyah yang dianggap menodai agama
islam,
-
Pada
masa orde baru, mahasiswa yang didukung masyarakat
-
menggelar
aksi protes dan berdemonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan,
- Dan sebagainya.
b. Kriminalitas
Kriminalitas merupakan tindakan sosial yang
disosiatif. Kriminalitas ditandai dengan prilaku-prilaku menyimpang yang
cenderung melawan hukum atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat.[4]
Tindakan kriminal bukanlah bawaan dari lahir dan dapat dilakukan oleh pria
ataupun wanita dari beragam usia, dari anak-anak sampai usia dewasa bahkan
lanjut usia.
Tindakan kriminal dapat dilakukan melalui perencanaan
atau tanpa melalui perencanaan, seperti tindakan mempertahankan diri yang
mengakibatkan terbunuh seorang perampok. Tindakan kriminal dapat berupa
perampokan, pemerkosaan, korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya.
Kondisi masyarakat yang mendukung seseorang atau
sekelompok orang melakukan tindakan kejahatan dapat dilihat dari beragamnya
bentuk kejahatan yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Bentuk proses
sosial yang terjadi dan mendorong orang untuk melakukan kejahatan diperoleh
antara lain melalui proses imitasi, konpensasi, konsepsi diri sendiri (self conception), kekecewaan, persaingan
tidak sehat, dan pertentangan kebudayaan. Prilaku kejahatan semacam ini dapat
dipelajari melalui berbagai media elektronik, surat kabar, dan interaksi dengan orang-orang
yang memiliki profesi sebagai penjahat.
Gejala kriminalitas lain yang berkembang dimasyarakat
saat ini adalah adanya kejahatan kerah putih (white collar crime). Yang dimaksud kejahatan kerah putih
adalah kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh para penguasa atau pakar dalam melakukan peranannya. Banyak para
ahli mengatakan tipe kejahatan seperti ini merupakan ekses dari proses
perkembangan ekonomi yang terlalu cepat yang menekankan pada aspek material
belaka. Pada awalnya, gejala ini disebut business
crime atau economic criminality.
Golongan kerah putih menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana
pengendalian sosial lainnya, karena kekuasaan dan keuangan yang dimilikinya
sangat kuat.
c. Kenakalan remaja
Masa remaja
dapat dikatakan sebagai masa yang berbahaya. Pada masa ini emosi seseorang
masih labil, belum memiliki pegangan dan dalam proses mencari jati diri. Pada
masa ini, manusia sedangmengalami proses pembentukan kepribadian. Untuk itu,
perlu adanya perhatian yang lebih dari orang tua, agar si anak tidak terjerumus
terhadap hal-hal ang dapat merugikan masa depannya.
1. Adanya keinginan untuk melawan, seperti
dalam bentuk
radikalisme,
2. Adanya sikap apatis yang biasanya disertai
dengan adanya rasa kecewa terhadap
kondisi masyarakat.
Bentuk-bentuk
kenakalan remaja yang cukup meresahkan para orang tua dan merepotkan aparat
keamanan antara lain adalah tawuran, pemerasan, pembunuhan, narkoba,
pemerkosaan dan lain sebagainya. Dari beberapa penelitian diperoleh kenyataan
bahwa remaja yang terlibat dengan kenakalan seperti yang tersebut diatas tidak
hanya datang dari golongan miskin saja tetapi juga datang dari golongan mampu.
Jadi, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab seorang anak terjerumus dalam
tidakan menyimpang. Masih ada faktor lain yang juga mendukung timbulnya masalah
ini, seperti adanya perkumpulan pemuda atau gank, pengaruh dari berbagai macam
media seperti, film dan bacaan porno. Tingkat umur para pelaku kejahatan remaja
ini pun beragam, mulai dari yang masih duduk di bangku sekolah dasar sampai ke
perguruan tinggi dengan bentuknya yang beragam.
Berdasarkan
beberapa uraian permasalahan sosial yang tersebut diatas maka dapat dirumuskan
beberapa gambaran tanggung jawab sosial ilmuwan hukum, yaitu :
1. bahwa seorang ilmuwan hukum harus mampu
mengidentifikasi
kemungkinan permasalahan sosial yang akan
berkembang berdasarkan
permalahan sosial yang sering terjadi
dimasyarakat,
2. bahwa seorang ilmuwan hukum harus mampu
bekerjasama dengan
masyarakat yang mana dimasyarakat tersebut
sering terjadi permasalahan
sosial sehingga ilmuwan tersebut mampu
merumuskan jalan keluar dari
permasalahan sosial tersebut,
3. seorang ilmuwan hukum harus mampu menjadi
media dalam rangka
penyelesaian permasalahan sosial
dimasyarakat yang mana masyarakat
Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman
ras, agama, etnis dan
kebudayaan sehingga berpotensi besar untuk
timbulnya suatu konflik, dan
4. Membantu pemerintah untuk menemukan cara
dalam rangka mempercepat
proses intergrasi sosial budaya dan
penemuan hukum yang mana ini
bertujuan untuk mempererat tali kesatuan
antara masyarakat Indonesia. Hal
ini juga bertujuan untuk mencegah
terjadinya konflik dan berguna untuk
mengisi kekosongan hukum.
C. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penulisan yang penulis lakukan maka pada bagian ini penulis akan mencoba
menarik kesimpulan atas semua tulisan sebelumnya, sebagai berikut :
- Bahwa
selain mengkaji, menemukan atau menealah ilmu pengetahuan hukum, seorang
ilmuwan hukum mempunyai tanggung jawab sosial,
- Bahwa
tanggung jawab sosial ilmuwan hukum adalah sangat kompleks.
Daftar Bacaan
Erwin Hasibuan, 2007, “Filsafat Ilmu Hukum”. Diktat Fakultas
Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
Iwa Husein Iskandar, 1999, Pengantar Sosiologi, Pertindo, Jakarta
Kun Maryati, 1996, Sosiologi, Mandar Maju, Bandung.
Mhd. Iqbal Tarigan, 2006, “Pengaruh Krimialitas Terhadap Pembangunan”.
Makalah Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
.
[1] Erwin Hasibuan, 2007, “Filsafat Ilmu Hukum”.
Diktat Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, hal. 21.
[2] ibid, hal. 22
[3] Kun Maryati, 1996, Sosiologi, Mandar Maju,
Bandung, hal. 120.
[4] Mhd. Iqbal Tarigan, 2006, “Pengaruh
Krimialitas Terhadap Pembangunan”.
Makalah Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, hal. 19.
[5] Iwa Husein Iskandar, 1999, Pengantar Sosiologi, Pertindo, Jakarta, hal. 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar