WAKAF PRODUKTIF
I. Pendahuluan
Wakaf merupakan lembaga keagamaan yang dipergunakan
sebagai piranti pengembangan kehidupan keagamaan termasuk perekonomian umat
islam dan umat non islam.[1] Di
Indonesia, perwakafan tidak hanya dikelola oleh lembaga keagamaan yang berstatus
pemerintah, seperti Badan Amil Zakat Nasional atau oleh swasta, seperti Rumah
Zakat Indonesia (RZI).
Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta
ini merupakan suatu langkah yang positif dalam rangka menjawab krisis yang
terus melanda Indonesia terutama krisis global yang cenderung mengikis kekuatan
ekonomi bangsa dan berdampang pada krisis pada daya beli dan jual masyarakat
atau khususnya umat islam yang semakin tidak terjangkau sehingga menimbulkan
dampak yang luar biasa, yaitu krisis kepercayaan umat islam terhadap Allah SWT
sehingga menimbulkan efek peningkatan terhadap sikap duniawi yang berlebihan,
kriminalitas, kolot dan sebagainya.
Dalam hal ini, saya cenderung memandang bahwa pegelolaan
dan pemberdayaan wakaf beserta komponen ekonomi islam lainnya, seperti zakat,
infaq, sedekah dan sebagainnya cenderung lebih sukses yang dikelola oleh swasta
misalnya Rumah Zakat Indonesia (RZI) dengan program anak asuh, ambulance
gratis, rumah bersalin gratis dan sebagainya. Dalam tulisan ini bukanlah
perbandingan pengelolaan yang akan ditonjolkan akan tetapi mengenai wakaf
produktif terutama dalam peningkatan perekonomian umat.
II. Wakaf
Produktif dan Peningkatan Perekonomian Umat
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan atau menyerahkan sebagian dari harta benda yang dimilikinya atau yang
dimanfatkan selamanya dan atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah
(Pasal 1 angka 1 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan). Wakaf dalam syariah
islam dapat dipandang sebagai suatu tiang ekonomi atau faundation of economic yang mana didalamnya terdapat modal yang
dapat dikembangkan sehingga dapat bermanfaat bagi umat. Ditambah adanya jaminan
bahwa setiap benda wakaf tidaklah boleh dijual sebagai barang konsumtif akan
tetapi harus dijadikan aset produktif sehingga wakaf harus selalu berkembang
dan menjadi wakaf-wakaf yang baru.[2]
Berdasarkan pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Perwakafan, bahwa harta benda itu terdiri dari :
- Benda tidak bergerak, yaitu :
-
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang belaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
-
Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri diatas
tanah.
-
Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
-
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Benda bergerak, yaitu :
-
uang.
-
Logam mulia.
-
Kendaraan.
-
Hak atas kekayaan intelektual.
-
Hak sewa
-
Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (antara lain seperti mushaf,
buku, dan kitab).
Kedua jenis benda tersebutlah yang harus dikelola
untuk menjadi aser produktif. Pemunculan wakaf produktif, karenanya menjadi
pilihan utama, ketika umat sedang dalam kemiskinan akut. Wakaf produktif,
berarti bahwa wakaf yang ada memperoleh prioritas utama ditujukan pada upaya
yang lebih menghasilkan. Wakaf produktif bila dijalankan dengan sungguh maka
akan menjalankan tiga visi sekaligus, yaitu menghancurkan struktur sosial yang
tumpang tindih, peningkatan perekonomian dan sebagai lahan yang subur dalam
mensejahterakan umat islam. Dalam memberdayakan wakaf produktif ini dapat
dilakukan dengan menyewakannya sehingga mampu meningkatakan perekonomian umat,
seperti :[3]
-
Investasi mudarabah, suatu bentuk pinjaman untuk
membantu usaha kecil dan menengah
-
Investasi musyakarah, resiko yang ditanggung pengelola
wakaf dibandingkan mudarabah karena jenis ini hanya akan membantu kekurangan
modal dari suatau usaha denganmelihat kelayakannya yang mana pengusaha itu
ingin mengembangkan usahanya.
-
Investasi ijarah, dalam bentuk sewa, misalnya
menyewakan tanah wakaf.
-
Investasi murabahah, dalam bentuk ini pengelola wakaf
yang langsung menjalankan benda wakaf atau ia sebagai pengusaha (enterpreneur).
Untuk menjaga agar terhindar dari kesalahan dan
kelangsungan dana umat yang terhimpun maka sebelum melakukan investasi maka
pengelola wakaf harus memperhatikanterlebih dahulu tingkat keamanan dan
probalitas.
Perlu diketahui bahwa dalam wakaf produktif harta
benda wakaf tidak hanya terbatas pada peruntukan sarana dan kegiatan ibadah aka
tetapi dapat juga sebagai sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan,
bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, kemajuan
ekonomi dan kesejahteraan umat yang mana semuanya dilaksanakan tidak
bertentangan dengan syari’ah islam.
Dari perspektif ekonomi makro maka wakaf dapat
dikatagorikan sebagai instrumen fiskal karena ia dapat menjadi sumber pemasukan
dan pengeluaran pemerintah. Atau bisa pula dimasukkan ke dalam katagori
investasi jika pengeluaran wakaf tidak di kelola oleh pemerintah tetapi oleh
badan-badan usaha milik swasta, pendapatan naional dipengaruhi konsumsi rumah
tangga, pengeluaran untuk investasi oleh badan-badan usaha, pengeluaran
pemerintah dan net export (ekspor
bersih). Investasi adalah fungsi dari tingkat bunga dan pengeluaran untuk wakaf tunai.
III. Penutup
Wakaf produktif adalah sangat diperlukan di Indonesia .
Hal ini terjadi karena ia dapat dijadikan solusi dalam perekonomian umat.
Dimana ia dapat diimplementasikan kedalam bentuk-bentuk investasi dan wakaf
produktif akan terus berkembang sehingga ia tidak lagi terbatas hanya sebagai
sarana dan kegiatan ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Laily Washliati, 2001, Beberapa
Pemikiran Tentang Obyek Wakaf di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara, Medan .
Datuk Khairil
Anwar, 2009, Workshop Antar Bangsa II
Topik Wakaf dalam Berbagai Perspektif (Wakaf Produktif dan Peningkatan
Perekonomian Umat di Indonesia), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
dan ISDEV-USM Malaysia .
Ahmad Azhar
Basyir,1987, Hukum Islam Tentang Wakaf,
Ijarah dan Syirkah,
P.T. Al-Maarif, Bandung .
Undang-undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan.
[1]
Laily Washliati, 2001, Beberapa Pemikiran Tentang Obyek Wakaf di Indonesia,
Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan , hal. 1.
[2] Datuk
Khairil Anwar, 2009, Workshop Antar Bangsa II Topik Wakaf dalam Berbagai
Perspektif (Wakaf Produktif dan Peningkatan Perekonomian Umat di Indonesia),
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan ISDEV-USM Malaysia, hal. 3.
[3] Ahmad
Azhar Basyir, 1987, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, P.T.
Al-Maarif, Bandung ,
hal. 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar