Kamis, 29 September 2011

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi ) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung cepat. Batas-batas Negara bukan lagi menjadi halangan dalam bertransaksi. Ada beberapa motif atau alasan mengapa Negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak abad ke 17. Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang ( pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu Bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya ( sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).
Esensi untuk bertransaksi dagang ini merupakan dasar filosofis dari munculnya perdagangan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa berdagang ini merupakan suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).
Dengan kebebasan ini, siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum dan lain-lain. Piagam hak-hak dan kewajiban Negara (charter of economic right and duties of state) juga mengakui bahwa setiap Negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dijadikan objek penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Apakah teori perdagangan internasional yang sesuai dengan Indonesia?
  2. Bagaimana gambaran peraturan/regulasi perdagangan internasional?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui teori perdagangan internasional yang sesuai dengan Indonesia.
  2. Untuk mengetahui gambaran peraturan/regulasi perdagangan internasional.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan ini, antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Secara teoritis bahan informasi bagi para akademisi dan berguna sebagai bahan bagi penulisan selanjutnya serta sebagai bahan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.
  2. Secara yuridis, bahan masukan bagi pemerintah, praktisi hukum dan lembaga yang berminat terhadap masalah hukum dagang internasional.

1.6 Kerangka Pemikiran
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas.
       
1.7 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengn sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian tulisan, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III PEMBAHASAN Hukum Dagang Internasional yang menyangkut Teori Perdagangan Internasional yang Sesuai Dengan Indonesia dan Gambaran Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional.
BAB IV PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hukum Dagang Internasional
Pengertian hukum dagang internasional berbeda-beda menurut para ahli, akan  tetapi  dari pengertian-pengertian tersebut hampir sama maknanya. Berikut diberikan definisi hukum dagang internasional dari para sarjana :
a.   Schmitthoff
“Hukum dagang internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata dan mengatur transaksi-transaksi yang berbeda Negara”.[1]
b.   M. Rafiqul Islam
“Hukum dagang internasional adalah suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan”[2]
c.   Hercules Booysen
“Hukum dagang internasional adalah suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialized branch of international law), aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) (International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services and the protection of intellectual property), dan aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum”.[3]
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum dagang interasional adalah sekumpulan aturan hukum yang mengatur perdagangan antar negara yang bersifat komersial dan bagian dari hukum perdata serta hukum internasional yang mempunyai pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum.

BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM DAGANG INTERNASIONAL
3.1 Teori Perdagangan Internasional yang Sesuai Dengan Indonesia
Pada dasarnya teori perdagangan internasional adalah saling terkait satu sama. Tidak dapat dipungkiri bahwa teori-teori ini sangat mempengaruhi perdagangan internasional terutama Indonesia dalam melakukan perdagangan Internasional. Berikut merupakan teori-teori perdagangan internasional, yaitu :[4]
  1. Model Ricardian
  2. Model Heckscher-Ohlin  
  3. Faktor Spesifik

  1. Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi.



Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
  1. Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.


  1. Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengedalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
  1. Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
Berdasarkan teori perdagangn internasional diatas menurut penulis Indonesia cengerung menganut teori yang pertama, yaitu model ricardian. Dimana, Indonesia sebagai negara yang berkembang cenderung lebih memfokuskas komparatif pada memproduksi barang atau jasa yang paling baik diproduksi. Hal demikian terjadi karena sumber daya manusia dan teknologi yang masih terbatas.

3.2 Gambaran Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional
Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilateral antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut terkadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka terkadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan arif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MERCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.
Pertengahan Juni, (15-18) bertempat di Sao Paulo, Brazil, diselenggarakan pertemuan negara-negara berkembang yang difasilitasi UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). Pertemuan yang sangat penting itu, membahas soal manfaat perdagangan global bagi perekonomian negara berkembang. Isu ini kembali dibahas, mengingat dalam 50 tahun terakhir, perekonomian nasional masing-masing negara berkembang semakin terintegrasi dengan struktur ekonomi global.[5]
Sayangnya, konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara yang tergabung dalam G-77 plus Cina itu, tenggelam di balik hiruk-pikuk kampanye pemilu presiden. Baik para kandidat, juru kampanyenya, maupun para pengamat yang kritis sekalipun, mengabaikan masalah mendasar ini. Padahal, siapa pun presiden yang terpilih nanti, mau tidak mau harus bermain dalam struktur perdagangan global yang sangat kompleks dan kontroversial itu. Tulisan ini hendak membuka kembali perdebatan tentang ”apakah pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global adalah sesuatu yang tak terelakkan?”
Para pendukung liberalisasi pasar menaruh keyakinan sangat kuat, bahwa pengintegrasian ekonomi negara berkembang ke dalam ekonomi global mendatangkan hasil akhir yang positif. Ini didasarkan pada tiga hal: pertama, perdagangan akan menciptakan allocative efficiency. Liberalisasi perdagangan akan menyebabkan setiap negara melakukan spesialisasi dalam produksi setiap item di mana mereka secara relatif lebih efisien. Inilah yang oleh David Ricardo, salah satu peletak dasar teori ekonomi klasik, disebut sebagai teori comparative advantage. Sebaliknya, pada sisi lain dari mata uang yang sama, pembatasan perdagangan atau distorsi cenderung menurunkan allocative efficiency.
Yang kedua, perdagangan akan menghasilkan efficiency from competition. Maksudnya, dengan terlibat dalam aktivitas perdagangan global pemerintah negara nasional harus mendorong perusahaan-perusahaan domestik untuk bertarung di pasar global, dan kemudian memaksa mereka lebih inovatif. Dengan demikian, pada akhirnya perusahaan-perusahaan domestik tersebut menjadi lebih efisien. Hasil akhirnya, kompetisi akan melahirkan harga yang lebih murah dan pelayanan terhadap konsumen yang lebih baik. Ketiga, perdagangan juga melahirkan apa yang disebut imported efficiency.
Keyakinan teoretik ini bukan tanpa hasil. Sebuah laporan yang dilansir oleh United Nations Development Program (UNDP) 1997 mengenai Human Development Report, menyebutkan sejak 1960 ekspor global telah bertumbuh dari $60 miliar menjadi $6,5 triliun (setelah dikurangi inflasi),atau bertumbuh sebesar empat kali lipat. Tetapi, ketika angka-angka yang membelalakkan itu dipublikasi, pada saat yang sama muncul pertanyaan ”siapa yang diuntungkan darinya?”
Studi yang dilakukan Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam bukunya Globalisasi Adalah Mitos (2001), mengatakan ”Sebanyak 75 persen dari akumulasi saham total dan 60 persen arus investasi asing langsung (FDI) hanya disalurkan oleh tiga pemain pada permulaan tahun 1990-an yakni, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Padahal jumlah penduduknya hanya meliputi 14 persen penduduk dunia. Tak hanya itu. Arus investasi yang terbang ke sepuluh negara berkembang pada tahun 1980-1991, hanya sebesar 16,5 persen atau 66 persen dari total arus ke negara berkembang. Dengan demikian, antara 57 persen hingga 72 persen dari penduduk dunia hanya menerima 8,5 persen dari FDI secara global. Dengan kata lain, 2/3 penduduk dunia tidak merasakan manfaat dari investasi ini.”
Laporan UNDP tahun 1999, menguatkan temuan Hirst dan Thompson: ”Dalam waktu sepuluh tahun terjadi pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Tiga orang terkaya di dunia saat ini menguasai asset yang nilainya sama dengan milik 600 juta orang di 48 negara termiskin. Kemakmuran mengalir dari tempat-tempat termiskin dan terburuk yang tak mungkin dapat dibayangkan manusia ke pusat perdagangan global dan keuangan negara industri. Saat ini seperlima penduduk di negeri-negeri paling kaya menguasai 86 persen produk domestik bruto dunia, 82 persen pasar ekspor dunia, 68 persen penanaman modal langsung, dan 74 persen saluran telepon di dunia. Sementara penduduk di negeri-negeri termiskin hanya memiliki satu persen di masing-masing sektor.”[6]
Di Indonesia itu gambaran di tingkatan global. Indonesia, salah satu negara yang dengan sukarela mengikatkan dirinya pada perdagangan internasional, merasakan betul akibatnya. Keterbukaan pasar, upah buruh murah, dan penundukan kesadaran politik rakyat guna melancarkan arus investasi, memang menghasilkan angka pertumbuhan yang tinggi, rata-rata 6-7 persen per tahun. Tetapi, pengintegrasian itu nyatanya tidak mendatangkan, baik allocative effieciency, efficiency from competition, maupun imported efficiency.
Satu per satu, dunia usaha yang bertumbuh pesat pasca deregulasi 1983, tumbang dihantam oleh krisis ekonomi pada 1997. Pertumbuhan tinggi tersebut juga hanya dinikmati oleh sekitar 200 pembayar pajak terbesar di Indonesia, yang komposisinya tidak mengalami perubahan yang berarti. Sementara itu, mayoritas rakyat terdesak ke kantong-kantong kemiskinan yang parah.Intervensi negara terhadap aktivitas ekonomi masih sering terjadi, sehingga menyebabkan distorsi (penyimpangan) pasar. Dengan kata lain, perdagangan bebas belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh, pengintegrasian masih bersifat sepihak berdasarkan kepentingan masing-masing negara.[7]
Argumen ini menurut saya mengandung kelemahan yang serius. Pertama, perdagangan bebas tidak pernah terjadi secara sukarela. Sejarah perkembangan ekonomi menunjukkan, perdagangan pertama-tama disebabkan oleh penaklukan; kedua, mengutip studi Patrick Bond (2004) tentang kasus Afrika, ”Integrasi dalam keadaan di mana struktur perdagangan global demikian timpang, malah makin memiskinkan negara-negara berkembang.” Dalam bahasa Graham Dunkley (2000), manfaat perdagangan hanya bisa dirasakan bersama jika masing-masing pemain bermain dalam lapangan permainan yang datar. Artinya, ada pemberlakuan yang sama terhadap produk domestik dan asing. Ketiga, yang lebih mendasar lagi, fair trade atau lapangan permainan yang datar tak mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme yang bercirikan ekspansi dan monopoli kapital sekaligus.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan yang penulis lakukan maka pada bagian ini penulis akan mencoba menarik kesimpulan atas semua tulisan sebelumnya, sebagai berikut :
    1. Bahwa dalam perdagangan internasional, Indonesia menganut teori Ricardian ini didasari karena terbatasnya sumber daya manusia dan teknologi Indonesia.
    2. Bahwa peraturan atau regulasi perdagangan internasional adalah sangat kompleks, hal ini dapat dilihat dari regulasi/peraturan perdagangan Internasional yang telah dimulai sejak abad ke 19 sampai sekarang.
4.2 Saran
Untuk mengakhiri tulisan ini maka pada bagian ini penulis akan mencoba mengemukakan beberapa saran.
Adapun saran-saran yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa agar lebih memajukan perdagangan internasional, Indonesia maka haruslah ditingkatkan sumber daya manusia dan teknologinya sehingga Indonesia tidak hanya terpaku pada 1 teori perdagangan internasional saja.
  2. Bahwa tiap negara harus memperhatikan dengan cermat bentuk regulasi/peraturan perdagangan internasional yang sangat kompleks agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan perdangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S., 2000 Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta.
Soedjono Dirdjosisworo,2006, Pengantar Hukum Dagang Internasiona, Refika  Aditama, Bandung.
Sudargo Gautama, 1977, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung.
Sinar Harapan, Selasa 29 Juni 2004
WWW. WIKIPEDIA. COM
WWW. OKEZONE.COM


[1] Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Pengantar Hukum Dagang Internasiona, Refika Aditama, Bandung, hal 4.
[2] Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1977, hal 5.
[3] Ibid, hal 6
[4] Amir M.S., Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta,2000, hal 20.
[5] Sinar Harapan, Selasa 29 Juni 2004
[6] www. Wikipedia.com
[7] www.okezone.com

1 komentar:

  1. lengkap juga gan. makasih artikelnya gan.
    Semoga info ini bermanfaat juga, memang banyak orang yang ingin sukses udaha dagang nya tanpa dibarengi dengan kualitas produk & pelayanan yang dijualnya. Bagaimana bisa? Karena yang namanya cara dagang memang perlu adanya peningkatan kualitas barang dagangannya. Tak perlu melakukan hal yang repot seperti belajar bisnis atau kursus online, seperti wanita yang ingin belajar materi dalam hal kecantikan (tata rias) di tempat penghasil bahan-bahan maklon kosmetik aman tidak berbahaya. Umumnya orang dagang sudah punya banyak pengalaman sebagai usaha nyata (lahir) nya, tapi terkadang masih kurang mengerti ilmu pelarisan seperti dalam usaha batin nya. Maka dari itu silakan coba mengimbangi dengan sarana batin, seperti menggunakan sarana pelarisan. Banyak orang yang bilang sebaiknya memang usaha nyata (lahiriah) dengan usaha batiniahnya harus seimbang. Berbicara masalah pelarisan dagang, ada yang pernah menyarankan menggunakan sebuah JIMAT yang katanya AMPUH. Informasi selengkapnya
    saya peroleh dari DISINI>> JIMAT PELARISAN
    Semoga bermanfaat.

    BalasHapus